Bebas Itu Apa Sih Rom?

Tiba-tiba saya teringat percakapan saya dengan Romo Pamong saya berpuluh tahun yang lalu. Darah muda. Gelegak di dada. Hasrat ingin terpuaskan.

“Jadi kebebasan itu artinya apa Rom?”

Itu dia pertanyaan saya ke salah satu Romo Pamong di SMA tempat saya sekolah.  Harus diakui saya menikmati privilege pendidikan ala kolese, yang mungkin jarang dinikmati gadis muslim lainnya. Di kolese tempat saya sekolah dulu ada satu jabatan unik, namanya Romo Pamong. Entah apa jabatan ini juga ada di sekolah Katolik lainnya. Tapi di SMP saya yang Katolik, setahu saya tidak ada. Baru saya temukan waktu SMA.

Apa ya tepatnya fungsi jabatan ini kalau mau dibandingkan dengan jabatan lain di sekolah lain? Buat saya dan mungkin juga buat teman teman saya waktu itu, Romo Pamong seperti gabungan antara guru BP yang cool digabung dengan kepala sekolah yang keren plus pembantu dekan 3 yang asik. Paket super lengkap!

Plus lagi, sebagiannya masih sangat muda dan ganteng. Haha. Walau biasanya yang muda muda ini menduduki posisi wakil, tapi sungguh lumayan memanjakan mata para gadis SMA. Atau jangan jangan memang itu salah satu metode menjinakkan para remaja perempuan ya? Hihihi. Strategi yang sungguh ampuh! Omong-omong para wakil Romo Pamong ini sungguh menggoda anak anak SMA perempuan buat didekati. Hahaha. Karena selain ganteng, pintar, pandai bicara,mereka juga sangat mudah diajak bicara. Tapi biasanya yang beginian juga calon romo. Hehehe. Jadi enak dilihat tapi tak bisa didekati. Anyway,

Waktu itu Romo Pamong saya menjawab,

“Bebas itu artinya tidak melanggar kebebasan orang lain”

Edisi panjangnya, Romo Pamong kemudian menjelaskan….

“Gak ada itu namanya kebebasan absolut. Bebas sebebas bebasnya. Karena kebebasan sejati adalah kebebasan yang juga dibatasi oleh kebebasan orang lain.”

Sebagai anak belasan tahun saat itu yang sudah habis melahap karya-karya Nh. Dini, Pramoedya Ananta Toer, Marah Roesli, Sutan Takdir Alisjahbana dan para seniman seangkatannya, saya langsung terkesima dengan jawaban Romo Pamong saya. Yang -kerennya- secara umum diamini dan diulang oleh para Romo dan guru lain pada hampir setiap kesempatan lainnya. It was a communal belief. Bukan sekedar jawaban yang terlintas ketika ada anak SMA bertanya.

Maka di sekolah kami pada waktu itu. Bebas adalah kata yang tak pernah lepas dari tanggung jawab.

Seragam? Cuman dipakai tanggal 17 buat upacara. Sisanya baju bebas. Asal cowok pakai celana panjang dan perempuan pakai rok. Jelas ya pemisahannya. Dari dulu!

Rambut? Silakan gondrong. Pada pelajaran tertentu ya kudu diikat biar gak ganggu. Eh ini maksudnya yang cowok ya. Walau sebagian akhirnya gak gondrong malah jatuhnya jadi kribo atau gondhes tapi sebagian besar murid laki lakinya membiarkan rambutnya terurai menyaingi teman temannya yang perempuan.

Telat datang sekolah? Gak papa. Gak akan dimarahin. Kan bebas. Asal siap sama konsekuensinya. Gak ada adegan ngomel. Telat ya nyabutin rumput aja selapangan. Beres!

Tapi jangan coba coba jadi bodoh di sini. Ini sekolah. Jadi boleh apa aja. Asal bisa ngikutin pelajaran. Kalau toh gak ngikutin ya gak papa juga. Silakan tinggal kelas. 2x tinggal kelas ditawarin mau keluar atau tetap di sini.

Ngerokok? Peraturannya gak boleh. Tapi kalau nekad yang mana itu banyak yang nekad ya gak papa. Paling lagi lagi disuruh bersihin kaca jendela kelas sambil lirik-lirik adek adek kelasnya.

You could do almost anything. Bebas! Selama kebebasannya tidak mengganggu kebebasan orang lain.

Anak umur 15 16 17 tahun lo. Paham bahwa yang namanya kebebasan sejati artinya menghormati kebebasan orang lain. Because you dont live in a bubble!

Fast forward ke 20 tahun kemudian. Definisi kebebasan jaman now bergeser artinya menjadi

“Aku boleh melakukan apa saja yang kusuka. Kalau itu sampai mengganggu orang lain maka itu orang lain akan ku-bully kuhina kunyinyirin ku-report akunnya ku-spam kublok ku-unfriend

Karena for whatever reason, kebebasan di tahun 2000-an ini sudah jadi jauh lebih sophisticated dari kebebasan yang pernah diajarkan Romo Pamong saya puluhan tahun lalu pada sekelompok anak remaja yang jiwanya penuh pertanyaan.

Jika dulu bebas artinya tidak mengganggu kebebasan orang lain. Dan pasangan kata bebas adalah tanggung jawab.

Maka sekarang bebas artinya aku boleh mengganggu orang lain yang tidak setuju dengan kebebasanku. Dan pasangan kata bebas di masa ini adalah liar.

Naudzubillahi mindzalik.

Maka jika dulu rok kami dibatasi gak boleh terlalu pendek karena takut mengganggu konsentrasi yang laki laki. Maka sekarang rok boleh sependek apa pun sementara yang mengingatkan akan masuk penjara.

Jika dulu bebas artinya boleh terlambat masuk sekolah asal siap dikasih hukuman. Maka sekarang datang telat dan dikasih hukuman bisa jadi yang ngasih hukuman dihajar massa.

Karena kebebasan tahun belakangan tergantung bukan pada niat dan konsekuensinya tapi pada kelompok mana dia berdiri.

And my dear friends. Welcome to this newly developed era of so-called freedom.

Jika ada kemampuan saya buat misuh maka sebenernya saya akan menutup tulisan ini dengan pisuhan. But life is tooooo good to add more bitterness in it, right?

Welcome freedom!

*rom adalah panggilan akrab kami untuk para Romo dan calon Romo yang bertugas di sekolah

26173173_10215260162964356_1972146000599650485_o

Status

My Shoes vs. Gen Y Shoes

Dunia pewayangan gegeeerrrr…….

Pregnancy Empathy – Blog Fanny Herdina

*mari kita tarik napas sebelum mulai menulis*

Sudah sejak lama saya ingin menulis dengan tema ini, tapi lagi lagi saya kesulitan menemukan kata sifat yang tepat untuk jadi ide utamanya. Nah, gegernya dunia pewayangan beberapa hari belakangan membantu saya menemukan kata sifatnya.

Sebut saja Bunga -nama samaran-red-. Jiaaah, dia juga ga keberatan kok kayaknya jadi topik pembicaraan di sosial media, jadi ya sudahlah. Kegegeran dimulai dari posting-an di bawah ini. Buat yang ngerasa tua, please tarik napas dulu sebelum baca, ok? Buat yang muda, juga tarik napas, karena dalam beberapa detik ke depan, Anda akan merasakan perasaan maluuuuu sangat berada pada kohort yang sama dengan si Bunga ini,

ABG Edan - Blog Fanny Herdina

Begitulah mbak cantik ini berkicau di halaman personalnya. Gak bisa terlalu disalahkan memang, karena itu halaman personalnya. Semacam teras rumahnya lah. Tapi doski *biar sekalian ketahuan umur gw berapa* tereak tereak di teras bok, jadi ya wajar juga sih ya kalau yang lewat ngerasa terganggu dan mulai ngrasani sama orang lain. *enough for Bunga*

Sekarang giliran saya. Saya juga punya sederet komplen soal anak-anak se-kohort mbak-teteh-uni-apa pun lah sebutannya *orang-orang sekohort saya gak biasa manggil cuman nama say, maaf*.

Satu nih. Tetangga saya punya motor nih, Ganti-ganti motornya. Dulu vespa. Sekarang motor cowok gitu deh *jiaaaah motor dikasih jenis kelamin*. Nah biarpun ganti motor, tapi rupanya soal selera memang sulit berubah cuy. Selera anak tetangga saya ini hmmm… anu…. hmmm…. suara yang keras-lah, sebut saja begitu. Vespa dia, waktu dinyalain dulu, bikin ayah saya bangun dari tidurnya terus batuk-batuk, menjelang beliau meninggal awal tahun 2012. Ah, saya sibuk berduka, jadi saya cuekin. Walaupun saat ayah saya meninggal pun, dia ga muncul di rumah saya. Tetangga saya man, tetangga 1 tembok. Nah motor barunya ini kalau dinyalain, berhasil dengan sukses membangunkan Puti dari tidur siangnya. plus juga membangunkan bibi-bibinya dan utinya sekaligus. Waktu saya ingetin, dia marah-marah dari balik pintu rumahnya dan mengusir ibunya suruh pergi. Fiuuh.

Kedua. Pernah ngantri di McD yang buka 24 jam gak, di malam Minggu? Yes. Asep rokok. DSLR nganggur di meja atau dipakai dengan mode AUTOMATIC. Obrolan dengan suara keras diiringi kata “anj*ng” “bangs*t” “mony*t”. Itu sesudah mereka ngantri di depan kasir selama minimal 45 menit, karena dilema besar menghantui mereka, yaitu mau pilih french fries aja atau ice coffee aja. Juga sesudah mereka membayar ke mas/mbak kasir tanpa mengucapkan terima kasih, tentunya. Ganggu gak?

Ketiga ya, terakhir ah, males bahasnya walaupun bisa sampai 45 sih nomernya. Uhuk. Ketularan lebay gw. Cara mereka nongkrong seenak udelnya di depan Her* atau Indomar*t yang udah jelas-jelas gak nyediain kursi, setelah mereka beli sebotol air mineral, itu ganggu banget. Ga kinormat banget sama mbak/ mas cleaning service yang mau bersihin lantai. Kalau ditegur satpam, terus sok ngomong “gak asik gak asik”. Lah, memang situ asik?

Anyway….. *tarik napas lagi dah* Kemarin-kemarin saya anggap perilaku mereka sebagi “ya sudahlah”. Walaupun gondok dan selalu dilanjut dengan menggandeng Genta di depan mereka sambil bilang,

“Genta, kayak begitu itu tidak baik ya mas, jangan ditiru. Itu namanya tidak sopan. Kalau habis bayar, bilang terima kasih. Bla bla bla”

Tapi ketika gegernya sampai membawa-bawa orang hamil dianggap egois. Rasanya logika saya gak mampu lagi mengikuti logika mereka. Berangkat subuh? saya pernah mbak. Tulang nggeser? Udah pernah jatuh terduduk pas naik gunung? Kalau belum ,gimana kalau rasain dulu? *jiaaah, gw ketularan dia* *please stop me*

Intinya kegegeran ini membuat saya ngobrol sama suami. Hasil obrolan kami yang sangat sepihak ini -cuma pihak orang hampir 40an saja maksudnya- menyimpulkan segala kenyamanan hidup ternyata berefek negatif bagi generation Y ini. Tentunya tidak semua, tetap ada beberapa yang menunjukkan kemampuan empati yang luar biasa.

Semacam gini deh. Kalau Anda hidup enak terus dan tidak dilatih untuk bersyukur, dari mana Anda belajar menghargai kerja keras orang lain? Dari mana Anda belajar bahwa ada orang yang hidupnya mungkin tak seberuntung Anda? Dari mana Anda belajar bahwa untuk sebagian orang, hamil dan berhenti bekerja itu bukan pilihan? Dari mana Anda belajar bahwa beberapa orang itu bahkan belum pernah lihat yang namanya I-Phone? Jangankan punya atau beli, megang tu belum pernah, lihat gambarnya aja mungkin di koran? Tentunya sulit ya.

Di salah satu web yang menceritakan ciri Generation Y, nomor satu cirinya adalah, saya kutipkan,

“Tidak sabaran, tak mau rugi, banyak menuntut”

Again, tentunya tidak semua seperti itu. Tapi kegegeran dunia pewayangan di atas mungkin mengacu pada ciri ini yang dominan pada si Bunga dan beberapa komentator di bawahnya. Tidak sabar dan banyak menuntut nampaknya adalah hasil dari perilaku self-centered yang berlebihan. Sehingga tidak membuka ruang bagi mereka untuk berempati, untuk melihat melalui kacamata orang lain. Atau berjalan memakai sepatu orang lain. Dalam rangka apa mereka mau pakai sepatu orang lain wong sepatu mereka udah enak banget dipakenya?

Kehilangan empati memang tugas berat untuk dibetulkan jika terjadi pada usia Bunga. Kecuali sesuatu yang intens terjadi padanya dan mampu mengubah seluruh paradigmanya plus cara merespon dunia luar. Tanggung jawab siapa? Gak usaha gaya deh menuduh dunia pendidikan bertanggung jawab atas ini, ya jelas sekolahan bertanggung-jawab. Orang tua juga bertanggung jawab. Tapi itu tanggung jawab yang private yang gak manis disobek-sobek di muka umum seperti di blog saya ini.

Gimana dengan tanggung jawab kita sebagai masyarakat? Apa yang sudah kita lakukan untuk bersama-sama memetik kekuatan Generation Y dan memotong ranting-ranting busuk mereka? Apakah kita sudah….

  • mengingatkan mereka untuk membuang sampah di tempatnya karena yang kebanjiran bisa jadi bukan rumah mereka, tapi mereka tetap bisa ikut berkontribusi mencegahnya
  • mengingatkan mereka untuk tidak merokok di sembarang tempat, walaupun tempat umum dan ada tanda boleh merokok, terutama kalau berdekatan dengan orang hamil, orang tua, anak-anak atau orang-orang yang memberi kode dengan manis melalui batuknya
  • mengingatkan mereka bahwa di luar sana ada banyak orang yang butuh kerjaan, rela bekerja apa pun demi memberi makan anak istrinya sehingga tidak etis bagi mereka menolak begitu saja pekerjaan karena alasan yang tidak esensial
  • mengingatkan mereka bahwa antri itu tanda orang berpendidikan bukan tanda pecundang atau orang yang takut sama mereka
  • mengingatkan bahwa sebaiknya hobi itu bukan yang mengganggu orang lain, punya motor berisik misalnya, piara anjing tapi gak pernah dikasih makan misalnya
  • mengingatkan bahwa terkadang senyum dan menundukkan kepala sedikit ketika bertemu orang adalah tanpa sopan santun yang umum, bahkan di dunia internasional yang biasanya mereka bangga-banggakan
  • mengingatkan bahwa di luar negeri tren memanggil orang itu dengan “dear” “honey” bukan monyet, anjing atau kutil, masak gaya baju ikut luar negeri kelakukan jaman jahiliyah
  • mengingatkan bahwa merawat dan menjaga kerapian rambut itu penting, tapi melempar poni ke kiri kemudian menyibakkannya kembali ke kanan pakai tangan setiap 2 menit sekali itu mengganggu, bahkan menunjukkan rendahnya tingkat PD mereka
  • mengingatkan bahwa berbaju rapi dan bersih saat keluar rumah itu baik, tapi bukan berarti sibuk ngaca setiap kali ada cermin atau selfie-an di sembarang tempat

Yess. Saya yakin Anda bisa menambahkan sendiri daftarnya. Silakan tambahkan di komen ya, sekaligus tinggalkan link blog Anda, saya saya tambahkan ke dalam tulisan ini bersama link-nya. Itung-itung selain komplen, kita sedikiiiiiit berkontribusi menyampaikan ini ke dunia *gak janji juga bakal sampai ke mereka sih* tentang hal-hal yang mungkin bisa kita lakukan bagi generasi yang tidak mau merepotkan orang lain itu.

Pssst, kalau baju sepatu tas belum bisa bikin sendiri benernya itu juga masih merepotkan sih bok. Apalagi masih kerja sama orang, itu juga ngerepotin. Belum lagi kalau mulutnya kayak gitu, itu juga merepotkan sih. Jadi ya, saya simpulkan doa Bunga belum diijabah nampaknya. Dia masih merepotkan banyak orang. Yang bantuin ibunya ngelairin, juga repot. DOkter yang betulin tulangnya yang nggeser juga repot. *priiiit Fan, priiiit, enough*

Sebagai penutup, sebelum acara ramah tamah dimulai dan lagu kemesraan dikumandangkan *hanya yang bukan Gen Y yang paham ini nampaknya*, gambar di bawah mungkin bisa jadi pengingat yang manis. Selamat malam teman-teman. Selamat malam Bunga, semoga tempat tidur, kasur dan sprei tempatmu tidur malam ini buatanmu sendiri, sehingga tidak merepotkan orang lain. Banyak cinta kukirim untukmu, karena …… *mari katakan ini bersama-sama dear readers* 

hanya orang kekurangan kehangatanlah yang mampu mengeluarkan kata-kata sedingin itu

*meminjam ungkapan kakak kelas saya di salah satu status facebook-nya*. Muaaaah *cium basah*

Berikan kursi - Blog Fanny Herdina